Kamis, 05 November 2009

Bisnis itu Etika

Bisnis Itu Etika

TAK bisa dipungkiri, pesatnya pertumbuhan bisnis dewasa ini melahirkan iklim persaingan yang kian ketat di antara satu sama lain. Berbagai trik dan strategi diterapkan oleh perusahaan agar dapat memikat hati konsumen. Tapi tampaknya, kini bukan zamannya lagi perusahan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan. Untuk itu, perlu di terapkan suatu etika dalam menjalakan roda perusahaan.

Etika berarti pandangan hidup atau pedoman bagaimana sebaiknya berperilaku. Jadi, etika bisnis adalah bagaimana pandangan hidup atau bagaimana sebaiknya berperilaku dalam dunia bisnis. Artinya, perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban kepada pemilik saja, tetapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan tesebut. Memang harus diakui, kepentingan utama pelaku bisnis adalah menghasilkan laba semaksimal mungkin. Fokus tersebut membuat banyak perusahaan berpikir jangka pendek, artinya berupaya dengan segala cara melakukan apa saja untuk meningkatkan keuntungan.

Adanya tekanan kompetisi yang sangat ketat, tuntutan para pemilik modal yang kian tinggi, serta meningkatnya kesadaran konsumen terhadap produk, plus budaya suap menyuap, sogok menyogok, yang masih juga berlangsung, membuat banyak pelaku bisnis sangat rawan terhadap godaan untuk melakukan pelanggaran. Tentu saja praktik ini tidak saja merugikan perusahaan lain yang bersifat jujur, melainkan juga masyarakat dan negara.

Banyak contoh nyata parktik praktik pelanggaran etika bisnis, baik yang sifatnya ringan maupun berat. Sebut saja, "dipaksa" oleh sales untuk membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan, memberikan discount setelah sebelumnya barang dinaikkan terlebih dahulu, mengalirkan limbah pabrik yang tidak diolah ke sungai, tidak adanya layanan purna jual dan sebagainya. Menyangkut bidang jasa misalnya, mengabaikan klaim atau keluhan yang diajukan nasabah, memberikan informasi tidak transparan terhadap jasa yang dijual, menyamarkan produk agar nasabah tidak cermat dalam memilih dan sebagainya. Adapun pelanggaran yang kelasnya kakap adalah menciptakan atau menambahkan ke dalam suatu produk yang sebenarnya justru dalam jangak panjang merusak dan membunuh kita. Contoh, pemakaian bahan pestisida yang bisa menyebabkan kanker pada manusia di dalam produk obat anti nyamuk, pemakaian formalin pada makanan agar awet, pengunaan perwarna tekstil untuk makanan anak anak dan masih banyak lagi.

Melihat contoh tersebut, terlihat jelas bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi keuntunguan sesaat tanpa peduli etika. Akibat yang di timbulkan sungguh mengerikan, berapa banyak dana masyarakat yang keluar hanya unuk berobat, berapa banyak waktu dan tenaga terbuang percuma hanya untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan berapa besar kerugian negara akibat penurunan kualitas sumber daya manusia akibat zat zat kimia. Jelas tanpa suatu etika, pelaku bisnis akan lepas tidak terkendali, mengupayakan segala cara, mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuannya. Untuk itulah diperlukan aturan dan sangsi yang tegas bagi para pelakunya.

Di sisi lain memang, kita tidak bisa mengharapkan bahwa pelaku pasar atau dunia bisnis akan dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, bebas dari kelicikan, kecurangan dan manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan aspek etika.

Etika bisnis bisa dimulai dari perusahaan itu sendiri. Pemimpin perusahaan, komisaris, manajemen puncak, perlu memulai langkah ini sehingga diharapkan akan menciptakan tricle down effet bagi karyawannya, bagi keluargaya dan lingkungan sekitar. Perusahaan yang telah memiliki standar etika baku lambat laun akan dikenal reputasinya, baik dari segi brand /citra produknya, kualitas pelayanan, kualitas orang orang yang bekerja pada perusahaan tersebut, dan output yang dihasilkan. Untuk membangun reputasi perusahaan, memang sangat diperlukan etika dan menjunjung tinggi nilainya. Efeknya, akan meningkatkan nilai tambah.


http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=138111

Tidak ada komentar: