Sabtu, 21 November 2009

Etika Bisnis dalam Praktek

Etika Bisnis dalam Praktek


1. Pendahuluan

Berbagai kekuatan dan dorongan mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya kekuatan dan dorongan yang datang dari luar dirinya (negara, masyarakat, kelompok, pribadi), dan kekuatan dan dorongan yang timbul dari alam (cuaca, keadaan alam, polusi udara), serta kekuatan dan dorongan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri (sifat azasi, mental, spiritual).

Kekuatan yang mempengaruhi perilaku manusia dari luar dirinya diantaranya adalah sistem hukum, yang dengan disertai ancaman berupa sanksi yang akan dijatuhkan oleh pihak penguasa, berupa paksaan bagi manusia untuk mengikuti standar-standar perilaku tertentu dalam rangka membentuk suatu tatanan dan ketertiban dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Beberapa ahli menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang demokratis, kekuasaan memaksa yang mempunyai otoritas atas pihak lain (misalnya ketentuan-ketentuan hukum) adalah berasal dari dan didasarkan pada kemauan yang datang dari pihak yang dikuasai. Pandangan-pandangan tersebut berasal dari teori-teori kontrak sosial.[1]

Selanjutnya, di antara hal-hal yang secara internal mempengaruhi perilaku manusia pribadi adalah opini manusia terhadap dirinya sendiri, baik yang timbul dari diri sendiri maupun opini yang diterima dari orang lain. Di dalam kategori orang lain termasuk orang tua, anak-anak, keluarga, teman dan semua orang lain yang tidak terdefinisikan, oleh karena itu kadang-kadang banyak orang yang memandangnya sebagai sesuatu yang mencemaskan.

Sebagian besar opini tersebut terbentuk dari suatu sistem yang membimbing manusia dalam menilai suatu hubungan atau tindakan, sistem inilah yang disebut dengan “etika.”

2. Pendekatan Umum

Pendekatan umum dalam pembahasan masalah etika bisnis dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan: “apakah suatu perusahaan yang menjalankan bisnis, sebagai badan hukum, merupakan badan hukum privat atau badan hukum publik?”

Pembedaan ini perlu, karena bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum privat, maka perusahaan dapat diperlakukan sebagai subjek hukum privat, dengan demikian, perusahaan dapat bertindak untuk dirinya sendiri, meskipun kewajiban tersebut dapat diperpanjang jangkauannya atas kewajibannya untuk kepentingan orang lain. Tambahan pula, sebagai badan hukum privat suatu perusahaan berhak untuk mendapat perlindungan hukum sebagai orang pribadi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan dapat pula ia memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.

Di samping itu, bila kita memandang perusahaan sebagai badan hukum publik, maka keadaan ini menjadi sebaliknya, perusahaan mempunyai kewajiban bukan hanya kepada pemegang sahamnya, tapi juga kepada masyarakat pada umumnya, mereka mempunyai kewajiban umum kepada publik meskipun mereka akhirnya laba yang akan diterima akan berkurang. Menurut pandangan ini, segala keputusan yang diambil perusahaan menjadi objek bagi penilaian oleh masyarakat, dan harus dibatalkan bila ternyata tidak memenuhi standar-standar yang ditentukan secara umum.[2]

3. Etika

Etika merupakan suatu kehendak yang sistematik melalui penggunaan alasan untuk mempelajari bentuk-bentuk moral dan pilihan-pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan hubungan dengan orang lain. Dalam diskusi tentang etika bisnis, titik pandang harus difokuskan kepada suatu kelompok dan situasi tertentu, misalnya pada lingkungan bisnis teknik-teknik evaluasi diarahkan kepada perbuatan yang ada di dalam lingkungan yang mempunyai tujuan-tujuan bisnis.

Keputusan dari seorang dokter untuk tidak memberikan informasi yang kesehatan pasiennya kepada pihak lain; dilema yang dialami seorang pengacara dalam menangani benturan kepentingan dengan kliennya; ataupun tanggung jawab seorang pelaku bisnis dalam pemasaran produk yang mengandung bahaya menimbulkan pertanyaan yang sama yaitu apakah yang dimaksud dengan benar, salah, baik, atau buruk? Apakah yang merupakan pilihan etika? Dan dalam perbuatan yang bagaimana seseorang seharusnya sampai kepada suatu keputusan untuk melakukan tindakan?

Etika adalah cabang dari filsafat yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, dengan makhluk lain, dan dengan lingkungan alam. Dengan didasari oleh filsafat, studi mengenai etika mencari pengertian tentang kebenaran dan prinsip-prinsip dasar yang memberi bimbingan untuk mendapat pengertian tentang dunia ini.

4. Teori Etika

Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang mengevaluasi masalah-masalah moral. Di antaranya adalah teori-teori Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian.

Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice.

Ahli fisafat terapan yang mengadopsi pendekatan Kantian menganut pandangan Deontological, yaitu pandangan yang berbasis proses pengambilan keputusan dalam menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804)[3]

Secara praktis, pandangan-pandangan ini berhubungan dengan kegiatan dalam menguji suatu perbuatan dengan hati-hati. Banyak ahli yang percaya bahwa kedua pendekatan ini dapat digunakan sebagai analisis pemecahan problem moral.

Banyak orang yang mungkin secara tidak sadar mempraktekkan pendekatan teleological terhadap etika dalam memutuskan dilema moral. Utilitarianisme adalah bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”. Keputusan-keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”

Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit).

Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar.” Akan tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan, seseorang harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling “baik” dan siapa yang merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang kemungkinan akan kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan penghasilan karena berkurangnya produksi dan seterusnya mempertimbangkan akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.

Pemikiran etika yang berbasis kewajiban adalah deontology, yaitu suatu pandangan dimana keputusan tentang suatu tindakan harus diambil dengan dasar adanya kewajiban, bukan dengan dasar akibat atau konsekuensi dari keputusan itu. Pendekatan ini sering pula dinamakan pendekatan “kewajiban demi kepentingan kewajiban“. Para penganut pandangan ini harus menerapkan keahlian dan pemikiran untuk menemukan bentuk bahasan tentang kewajiban tersebut dan mengidentifikasi manfaatnya.

Kant mengemukakan anggapan bahwa tidak ada satupun di dunia ini - tentunya juga tidak ada di luar dunia - yang dapat dibentuk sesuatu yang dinamakan baik tanpa kualifikasi yang lain daripada ‘itikad baik’. Dalam pandangannya itikad baik adalah niat yang rasional, dan niat yang rasional adalah sesuatu yang bekerja secara konsisten dan tidak mengalami kontradiksi. Prinsip konsistensi ini menghasilkan suatu ujian yang dapat mengenali kewajiban seseorang yaitu kategori imperatif atau hukum yang universal. Menurut kategori imperatif ini, kewajiban seseorang dalam suatu keadaan tertentu akan menjadi jelas bila seorang bertanya: apakah keputusan seseorang dapat di jadikan universal tanpa ada kontradiksi apabila di adopsi oleh orang lain dalam situasi yang sama tanpa membuat suatu pengecualian.

Bagi penganut pendekatan Kantian perilaku membuat janji palsu adalah pelanggaran terhadap hukum umum yang telah diakui secara universal. Secara rasional seseorang tidak boleh menginginkan untuk dapat secara bebas membuat janji palsu. Keadaan ini tidak dapat dijadikan kaedah yang universal, dan seseorang tidak dapat membuat suatu pengecualian khusus bagi dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, mengambil milik orang lain meskipun dalam situasi seperti itu adalah berarti mengancam pemilik barang tersebut dan tidak menghargai kehormatan pemiliknya.

Kaum Utilitarian mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti mungkin adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar dan para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk adalah bila perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan menderita, dan, bila pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat buruk akan datang dari pihak lain yang menganggap bahwa seseorang dapat membuat janji palsu dengan tidak melakukan pembayaran.

Seorang filsuf modern, W.D Ross, memberikan suatu versi deontology yang mendefinisikan kewajiban sebagai suatu tindakan mengambil tanggungjawab atas kedua kewajiban yang murni dan kewajiban-kewajiban untuk menghasilkan akibat yang terbaik. Ross mengenali bahwa suatu hubungan tertentu adalah lebih penting daripada yang lainnya dan bahwa suatu akibat tertentu akan lebih utama dari yang lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan kewajiban, Ross menganjurkan untuk menilai konsekuensi dan membuat prioritas dari kewajiban-kewajiban untuk mengantisipasinya.

5. Penerapan Hak

Pendekatan ini dirumuskan oleh John Rawls, seorang pendukung teori Landasan Hak, yang penelitiannya diarahkan kepada eksplorasi konsep keadilan. Namun demikian, hasil karyanya sendiri bersandar kepada penggunaan analisis etika dan sudah diterapkan secara luas sebagai alat dalam pendidikan etika bisnis.

Rawls mengarahkan kepada suatu test hipotesa mental yang dapat digunakan untuk menentukan apa yang dinamakan “adil.” Ketika diminta untuk memberikan keputusan yang mempunyai dimensi etika, langkah pertama yang harus diambil adalah menuju ke balik “veil of ignorance” (tirai pengabaian). Dengan melakukan hal itu, maka orang akan mengetahui bukan saja statusnya, tetapi juga akan tahu bagaimana akibat dari suatu keputusan akan membawa dampak kepada dirinya secara pribadi. Kemudian akan dapat dilakukan pendekatan pada masalah ini dengan mengajukan suatu pertanyaan yang sederhana: apa yang akan timbul sebagai keadilan yang rasional, dalam kasus tertentu itu dan pada prinsip-prinsip umum? Jawabannya, sebagaimana diajukan oleh teori ini, tidak akan berpihak, karena keadaan lingkungan pribadi telah dikesampingkan.

Ada beberapa cara yang berbeda untuk mempelajari perilaku dalam hal pengambilan keputusan moral. Bila kita melihat ke dalam situasi bisnis, maka aspek-aspek dari ketiga pendekatan (utilitarian-teleologocal, deontological, dan pendekatan Rawls) akan muncul. Proses untuk mengajukan pertanyaan yang dianjurkan oleh masing-masing metode cenderung untuk menstimulasi pertimbangan yang mungkin semula tidak diambil seseorang.

6. Hukum dan Etika

Hukum tidak selalu lebih lambat daripada etika. Dengan tidak menyampingkan hambatan-hambatan yang sering menjadi preseden, hukum juga dapat berubah untuk mengakomodir pergeseran nilai-nilai tertentu yang mengikuti prinsip moral yang lebih jelas. Akhir-akhir ini, di beberapa bidang hukum, pihak legislatif dan pengadilan telah menunjukkan kemauan untuk bertindak sebagai sponsor dan penegak hukum yang mengharuskan standar perilaku yang lebih tinggi. (contohnya kewajiban CSR bagi setiap perusahaan di Undang-Undang PT yang baru).

Kebanyakan aturan hukum berada di bawah tingkatan tuntutan etika, akan tetapi, dalam kenyataan hukum ikut mendorong meningkatnya tuntutan etika. Ini adalah dapat dimengerti apabila kita mempelajari perilaku menurut “tingkat perkembangan moral” yang diajukan oleh Lawrence Kohlberg, seorang psikolog terkemuka di Amerika.

Observasi yang dilakukan Kohlberg menawarkan pandangan bagaimana para manajer bisnis berperilaku. Pandangan tersebut kira-kira sebagai berikut: bila suatu tindakan yang dilakukan merupakan hal yang “legal” maka tindakan itu pasti “baik“.

Masalah ini menimbulkan pertanyaan yang menarik tentang etika yang diterapkan pengacara dan kliennya bila mereka menangani atau terlibat dalam litigasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa banyak cara untuk memenangkan gugatan hukum atau mengambil keuntungan dalam negosiasi yang mengandung dampak di bidang etika. Sudah tentu motif etika ini ada karena hukum menyediakan berbagai teknik yang menentukan keberhasilan dalam suatu gugatan hukum.

7. Hubungan Etika dengan Perilaku Bisnis

Apa yang dapat ditarik dari fenomena berikut ini? Dalam kenyataan sering terjadi bahwa pengusaha yang selalu menjalankan bisnisnya dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika: melakukan penipuan, persaingan yang tidak sehat, bisnis yang curang, dan melakukan “pencurian”, namun tidak pernah tertangkap dan menjadi kaya serta berumur panjang dan akhirnya meninggal dunia dengan wajar pada usia lanjut.

Sebaliknya, terdapat pengusaha yang menjalankan bisnis dengan penuh etika, namun kemudian mempunyai anak yang menderita leukemia, dan di antaranya ada yang kehilangan pekerjaan akibat merger perusahaannya, bahkan ada pula yang menjadi cacat akibat ditabrak oleh pengendara mobil yang sedang mabuk dan mati dalam usia yang relatif muda.

Dalam kegiatan bisnis sehari-hari sangat mudah untuk menyebut etika bisnis, namun sulit sekali untuk menerapkannya. Dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif, sering etika bisnis ditinggalkan semata-mata untuk mengejar keuntungan yang besar dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau untuk mendapatkan promosi jabatan dan terkadang untuk tetap dapat menduduki suatu jabatan.

Untuk mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan, merupakan proses kegiatan pemikiran etika yang sangat mirip dengan suatu studi produktif. Kerangka yang ditawarkan oleh teori-teori etika menantang para manajer untuk mencari alternatif-alternatif dan untuk menyusun alasan-alasan untuk mendukung alternatif tersebut. Hal tersebut merupakan langkah yang penting dan krusial dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks akhir-akhir ini, dimana pengambilan keputusan yang baik akan berdampak finansial secara langsung dari suatu tindakan yang dilakukan, namun juga terhadap kepentingan bisnis jangka panjang yang tidak terlihat dengan jelas ataupun dampaknya terhadap masyarakat.

8. Etika Dalam Investasi

Perlukah etika dalam melakukan investasi? Jawabannya tentu saja perlu. Penekanan pada pencarian laba tidak harus menjadikan investor melupakan etika. Cukup sulit untuk menentukan sasaran etika ini. Pokok pikiran yang paling penting dalam hal ini adalah jangan lakukan investasi yang merupakan pengejaran laba dengan hanya berdasarkan spekulasi.

Dalam melakukan investasi kebanyakan investor mencari dan memfokuskan perhatiannya terhadap investasi yang aman dan menjanjikan keuntungan yang tinggi, hanya sedikit yang memperhatikan investasi yang beretika.

Apabila investor akan melakukan investasi yang berdasar etika, hendaklah perhatian utamanya ditujukan kepada produk dan jasa perusahaan tersebut, sebagai contoh: jangan melakukan investasi di perusahaan yang memproduksi bahan-bahan yang mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan. Selanjutnya sedapat mungkin dipelajari kemana dana yang diperoleh perusahaan tersebut disalurkan, misalnya investasi di reksadana dapat menjadi investasi yang tidak beretika apabila dana yang dihimpun diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang produksinya mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan. Bagi investor yang tidak aktif menjalankan bisnis itu sendiri ada 3 (tiga) metode pendekatan yang dapat digunakan yaitu:

a. Pendekatan Negatif

Pendekatan negatif ini disebut juga teori penghindaran, di mana para investor yang beretika, akan menghindari investasi di bidang atau perusahaan yang tidak disukainya, atau bertentangan dengan prinsip etika bisnis yang dianutnya atau juga melakukan kegiatan bisnis di bidang-bidang yang melanggar ketentuan lingkungan, produksi zat kimia yang berbahaya, produksi senjata, atau melakukan investasi di negara-negara yang melakukan pelanggaran hak-hak azasi manusia.

b. Pendekatan Positif

Dalam hal ini para investor hanya akan melakukan investasi pada bidang usaha atau bisnis yang sesuai dengan etika bisnis yang dianutnya. Dalam penerapannya investor dapat menyusun daftar perusahaan atau bidang bisnis yang dipandang sesuai dengan etika bisnis yang umum.

c. Pendekatan Aktif

Dengan pendekatan ini para investor akan melakukan investasi di bidang bisnis yang menurutnya tidak sesuai dengan etika bisnis yang umum dianut, dan dalam melakukan investasi di bidang itu terkandung tujuan untuk mengambilalih kontrol terhadap perusahaan tersebut untuk selanjutnya melakukan perubahan agar perusahaan tersebut menjalankan bisnis sesuai dengan etika bisnis yang umum.

9. Etika [Bisnis] Dalam Praktek

Berbicara mengenai etika dalam kaitan dengan bisnis dan investasi, tidak cukup hanya dengan membahas teori-teori yang secara umum dianut pelaku bisnis atau para investor, akan tetapi juga perlu membahas penerapan dan pelaksanaannya dalam praktek bisnis, investasi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini akan dibahas beberapa ilustrasi mengenai praktek etika dalam berbagai segi kehidupan, yang bila diperhatikan secara mendalam akan menampakkan gejala upaya penghindaran yang disadari atau tidak dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat.

a. Benci Tapi Beli: Kasus Timor (Mobnas)

Benci tapi beli, proyek mobil Timor yang dikenal dengan proyek Mobnas (mobil nasional) oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap sebagai proyek penyelundupan hukum yang dilakukan secara terang-terangan, dan tentunya melakukan pelanggaran di berbagai bidang hukum, mulai dari perpajakan sampai kaedah hukum internasional yang terdapat di komitmen Indonesia di WTO (World Trade Organization). Namun, tidak dapat disangkal bahwa dibalik itu mobil Timor termasuk mobil yang laku di pasar.

b. Anti Bank - Pro Deposito

Ketika krisis mulai melanda Indonesia, banyak orang yang berteriak anti konglomerat tapi dibalik itu sebagian dari mereka berlomba mendepositokan uangnya di bank-bank milik konglomerat. Ketika terungkap kasus-kasus yang membuka ketidaksehatan bank-bank di Indonesia, hampir semua orang memandang dengan sinis terhadap bank-bank milik konglomerat dan menganggap bahwa bank-bank tersebut merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi Indonesia. Namun dibalik itu, berbondong-bondong orang memasukkan uangnya di dalam deposito karena tingginya bunga bank pada waktu itu.

c. Benci Krisis Beli Dolar

Semua orang mengeluh terhadap krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia tapi bila kita perhatikan banyak sekali orang yang berlomba-lomba beli dolar. Money-changer dipenuhi oleh orang-orang, mulai dari pedagang sampai dengan ibu rumah tangga. Semua orang jadi ahli valuta asing dan ahli moneter, dan mengikuti perkembangan harga valuta asing dengan seksama untuk mencari keuntungan dari perdagangan valuta asing.

d. Benci Perusahaan Beli Saham

Contoh lainnya adalah banyaknya orang yang menganjurkan untuk tidak merokok, banyak yang benci rokok, namun kita lihat kenyataan bahwa saham perusahaan rokok mempunyai kapitalisasi paling besar di Bursa Efek, dan orang-orang berlomba membeli saham perusahaan rokok. Apakah ini melanggar ketentuan hukum? Tentu saja tidak, namun seperti dikatakan di atas, etika tidak dapat hanya dilihat dari sudut pandang hukum positif yang berlaku. Ini berkaitan dengan etika investasi seperti yang telah disebutkan di atas.

e. Eksploitasi Anak Dalam Bisnis - iklan, hiburan, film

Sementara hampir semua orang berteriak tentang perlindungan anak-anak, di televisi iklan yang menggunakan anak-anak semakin gencar. Eksploitasi anak masih merupakan hal yang sangat jarang diperhatikan di Indonesia, apalagi bagi para pelaku bisnis. Semakin maraknya iklan di televisi yang menggunakan anak, bahkan bayi, sebagai penarik konsumen, menandakan rancunya jalan pemikiran masyarakat dalam kaitannya dengan etika. Sebagian besar masyarakat belum dapat membedakan eksploitasi dengan pengejaran keuntungan yang tidak melanggar etika bisnis.


Sumber :http://pihilawyers.com/blog/?p=26

Jumat, 13 November 2009

Perlu bangun etika bersama

Perlu Bangun Etika Bersama


Laporan Wartawan Kompas Orin Basuki


JAKARTA, KOMPAS - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, seluruh pelaku pasar modal di Indonesia sudah harus mulai membangun etika bersama dalam menjalankan bisnis sehari-hari. Pembangunan etika bersama itu diperlukan untuk menghindari perilaku sebagian pelaku pasar modal yang berupaya mendapatkan keuntungan dengan merekayasa aturan.

“Pelaku pasar modal perlu mulai membangun etika bersama karena seluruhnya mempunyai kepentingan yang sama untuk membangun bursa yang bagus. Kami ingin Anda (pelaku pasar modal) menciptakan keuntungan tanpa merusak institusi dan pemodal lainnya. Etika adalah pagar terakhir dari kapitalisme dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (26/2) usai berbicara dalam acara Surabaya Stock Exchange Award.

Menurut Sri Mulyani, pasar modal di Indonesia memerlukan rambu-rambu yang mampu menjadi penahan terjadinya praktek-praktek mencari keuntungan dengan merekayas aturan. Pengawasan pasar modal juga semakin sulit karena pelaku pelanggarannya semakin cerdas dalam merekayasa aturan.

“Tantangannya, kian hari kian sulit karena yang kami (pemerintah) hadapi adalah orang-orang yang memiliki keterampilan di atas rata-rata. Mereka kalau melihat suatu aturan akan selalu berusaha agar memberikan keuntungan. Jadi kelasnya bukan kelas maling ayam atau kambing, tetapi kelas masyarakat dengan kreativitas menciptakan nilai yang mampu keuntungannya bagi mereka,” katanya.

Sumber :http://202.146.5.33/ver1/Ekonomi/0702/26/171616.htm

Perli bangun etika bersama

Perlu Bangun Etika Bersama


Laporan Wartawan Kompas Orin Basuki


JAKARTA, KOMPAS - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, seluruh pelaku pasar modal di Indonesia sudah harus mulai membangun etika bersama dalam menjalankan bisnis sehari-hari. Pembangunan etika bersama itu diperlukan untuk menghindari perilaku sebagian pelaku pasar modal yang berupaya mendapatkan keuntungan dengan merekayasa aturan.

“Pelaku pasar modal perlu mulai membangun etika bersama karena seluruhnya mempunyai kepentingan yang sama untuk membangun bursa yang bagus. Kami ingin Anda (pelaku pasar modal) menciptakan keuntungan tanpa merusak institusi dan pemodal lainnya. Etika adalah pagar terakhir dari kapitalisme dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (26/2) usai berbicara dalam acara Surabaya Stock Exchange Award.

Menurut Sri Mulyani, pasar modal di Indonesia memerlukan rambu-rambu yang mampu menjadi penahan terjadinya praktek-praktek mencari keuntungan dengan merekayas aturan. Pengawasan pasar modal juga semakin sulit karena pelaku pelanggarannya semakin cerdas dalam merekayasa aturan.

“Tantangannya, kian hari kian sulit karena yang kami (pemerintah) hadapi adalah orang-orang yang memiliki keterampilan di atas rata-rata. Mereka kalau melihat suatu aturan akan selalu berusaha agar memberikan keuntungan. Jadi kelasnya bukan kelas maling ayam atau kambing, tetapi kelas masyarakat dengan kreativitas menciptakan nilai yang mampu keuntungannya bagi mereka,” katanya.

Sumber :http://202.146.5.33/ver1/Ekonomi/0702/26/171616.htm

etika bisnis

Etika Bisnis

Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.

Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;

  • Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
  • Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
  • Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
  • Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
  • Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.

Pertanyaan nya bagaimana menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis ini agar benar-benar dapat operasional? Sonny juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya banyak perusahaan besar telah mengambil langkah yang tepat kearah penerapan prinsip-prinsip etika bisnis ini, kendati prinsip yang dianut bisa beragam. Pertama-tama membangun apa yang dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture). Budaya perusahaan ini mula pertama dibangun atas dasar Visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Visi ini kemudian diberlakukan bagi perusahaannya, yang berarti Visi ini kemudian menjadi sikap dan perilaku organisasi dari perusahaan tersebut baik keluar maupun kedalam. Maka terbangunlah sebuah etos bisnis, sebuah kebiasaan yang ditanamkan kepada semua karyawan sejak diterima masuk dalam perusahaan maupun secara terus menerus dievaluasi dalam konteks penyegaran di perusahaan tersebut. Etos inilah yang menjadi jiwa yang menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh karyawan untuk bersikap dan berpola perilaku yang kurang lebih sama berdasarkan prinsip yang dianut perusahaan.

Berkembang tidaknya sebuah etos bisnis ditentukan oleh gaya kepemimpinan dalam perusahaan tersebut.

Sumber ; http://edratna.wordpress.com/2006/12/06/budaya-korporatif-etika-bisnis-dan-corporate-sosial-responsibilities/

Kamis, 12 November 2009

Hukum tidak tertulis dalam berbisnis

Hukum” tidak tertulis dalam berbisnis

Dalam menjalankan roda usaha sering kali kita tidak menyadari akan adanya peraturan
Hukum tidak tertulis dalam berbisnis
Dalam menjalankan roda usaha sering kali kita tidak menyadari peraturan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan usaha yang kita rintis, bahkan dapat membuat kita bangkrut secara perlahan. berikut merupakan hukum tidak tertulis dalam berbisnis.
Menjadi yang pertama,
yaitu menjadi market leader sebuah usaha barang maupu jasa. ketika anda meulai usaha dengan membuka sebuah usaha barang atau jasa yang belum ada orang yang berkevimpung didalamnya, maka anda disebut market leader (perusahaan yg memimpin), sehingga jika anda mulai berwiraswasta usahakankah untuk memilih usaha yang belum memiliki pesaing, sehingga anda dapat dengan mudah mengatur sendiri peraturan tentang barang atau jasa yang anda tawarkan baik dari segi produk, harga, pelayanan, bentukdan lain-lainnya. maka ketika orang lain berniat menjadi pesaing anda, ia harus mengikuti peraturan yang anda ciptakan, dengan begitu sulit bagi orang lain meniru usaha yang anda rintis, dengan begitu usaha anda sulit tergyahkan apalagi mengalami kebangkrutan.
Tampil beda
Jika usaha yang anda rintus bukanlah market leader (yang pertama membuka usaha tersebut) maka beranilah tampil berbeda dibanding pesaing anda, dengan begitu pelanggan dari pesaing anda merasa tertantang untuk mencoba produk anda.
Mempertahankan Pelanggan
Setelah memiliki banyak konsumen, maka yg perlu diperhatikan adalah mempertahankannya agar tidak berpindah ke tempat lain bahkan kembali ke pesaing anda, caranya :
( Memberikan pelayana ekstra ) pelanggan anda akan merasa senang dan betah jika mendapat pelayanan yg lebih memuaskan dibanding ditempat lain, & juga pelayanan yang anda berikan merupan nilai plus dimata konsumen.
Senyum dan berterima kasih
kedua hal ini sering terlupakan oleh para pebisnis, padahal keduanya berpengaruh cukup besar terhadap kerelaan pelanggan membelanjakan uang mereka. senyum kepada mereka menunjukkan keramahan kita dalam hal servis, sedangkan berterimakasih membuat pelanggan merasa dihargai.
Meminta maaf
Ibarat pelanggan adalah raja, ia mudah sekali tersinggung walaupun kita melakukan kesalahan sekecil apapun. kesalahan yg terkadang kita buat sering membuat membuat mereka jengkel dan mengurangi penilaian mereka terhadap produk kita, sehingga agar mereka tidak kecewa agar jangan segan untuk meminta maaf, agar mereka merasa dihormati.
Kritik dan Saran
Berikan kesempatan pelanggan untuk memberi masukan pada produk maupun pelayanan anda, agar lebih dapat memuaskan kebutuhan mereka.
Waspada Terhadap Pesaing
Pesaing adalah “musuh” anda dalam menjalani bisnis, terkadang mereka akan melakukan apapun untuk meningkatkan penjualan mereka, termasuk membuat anda rugi secara langsung maupun tidak langsung, antara lain dengan cara (predatory pricing) menawarkan harga yang miring (sangat murah) sehingga pelanngan andda tertarik menuju produk mereka. (Pembajakan Karyawan) menawarkan karyawan anda untuk bekerja ditemmpat mereka dengan syarat memberitahu kelemahan ataupun rahasia perusahaan anda. maka pandai-pandailah menjaga hubungan dengan karyawan. (Monopoli Distribusi) pesaing anda sangatlah mungkin melakukan kerjasama pada distributor anda dengan suatu perjanjian /pun menawarkan harga yang lebih dibanding anda sehingga usaha yang anda geluti kesulitan mendapatkan bahan baku. (Black Marketing) Melalui iklannya dimedia massa pesaing secara tidak langsung menjelak-jelekkan kelemahan produk servis yg anda berikan, serta menunjukkan keunggulan produk mereka, sehingga anda akan kehilangan pelanggan.

Sumber : http://id.shvoong.com/business-management/international-business/1939653-hukum-tidak-tertulis-dalam-berbisnis/

Sabtu, 07 November 2009

Meraih Bisnis dari Idealisme Seni

Meraih Bisnis dari Idealisme Seni

Seni ternyata bisa berkembang menjadi bisnis dan menghasilkan untung triliun rupiah tiap tahunnya. Awalnya Wahyu Aditya memiliki hobi menggambar sejak kecil. Keinginannya hanya ingin menghibur orang lain lewat gambar dari imajinasinya. Hobinya itu berlanjut di bangku kuliah dengan mengambil jurusan multimedia, dan kini Aditya membuka bisnis yang bergerak dalam bidang animasi dan desain. "Waktu kecil saya lebih senang dibelikan kertas kosong daripada mainan," kata Adit, begitulan Wahyu Aditya akrab disapa.

Sebagai langkah awal, April 2004 Adit membuka kursus animasi dengan nama Hello Motion Academy. Semula, Adit mengaku ide membuka kursus animasi ini hanya iseng. Adit melontarkan gagasan ke teman-temannya di milis. Tak disangka banyak orang yang tertarik. "Saya nekat membuat pameran pendidikan di Jakarta, ternyata banyak orang yang mendaftar," ujarnya.

Alih-alih banyak yang mendaftar, Adit kebingungan karena waktu itu Hello Motion masih dalam bentuk brosur dan belum mempunyai tempat. Dia juga belum mempunyai modal usaha. Awalnya Adit sempat terpikir untuk meminjam modal usaha dari orang tua. Namun, akhrirnya dia memutuskan untuk mengajukan pinjaman dari bank Rp 400 juta. Modal usaha itu habis untuk sewa ruko tiga lantai di kawasan Tebet dan belanja peralatan komputer.

Celakanya, Adit juga tidak tahu soal bisnis dan bagaimana mengelolanya. Dunia usaha merupakan hal yang awam baginya. Untuk mengatasinya, Adit rajin membaca buku-buku bisnis yang berisi teori-teori terbaru pakar bisnis. Hasilnya, dia tetap sukses menjalankan roda bisnisnya hingga kini. Usahanya tumbuh subur. Kuota kelasnya selalu terisi penuh 40 siswa, ditambah daftar tunggu mencapai 30 orang.

Jumlah jurusan yung ditawarkan juga terus berkembang. Awalnya hanya ada tiga pilihan program studi yang ditawarkan. Yakni, animasi, graphic, dan digital movie. Sejak tahun 2007 lalu, Hello Motion menambah program studinya dengan editing."Kedepan saya ingin membuat kurikulum yang berjenjang, jadi lebih padat lagi," tutur pria kelahiran Malang ini.

Keuntungan usahanya juga terus terkerek. Tahun 2007 lalu, omzetnya mencapai Rp 1 miliar per tahun. Naik dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 800 juta. Adit mencoba menyasar kalangan anak muda dan mahasiswa. Pangsa pasar terbesarnya adalah mahasiswa dengan usia 18-28 tahun. Untuk kursus selama rata-rata 2,5 bulan, dalam 22 kali pertemuan, siswa dikenakan biaya sekitar Rp 3,7 juta.

Hingga tahun ini, Hello Motion telah berhasil menetaskan 600 siswa lulusan animasi. Karena tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan promosi di berbagai media, Hello Motion berkembang hanya dari mulut dan mengandalkan jualan dari internet. Selain membuka kursus, Adit juga mempunyai usaha rumah produksi. Meskipun belum menghasilkan karya layar lebar, tetapi karyanya sudah diakui komunitas film di Indonesia dan Asia.

Beberapa kali film pendek karya Hello Motion menjadi finalis berbagai kompetisi di Jepang, Korea, dan Amerika. Bahkan, Adiet juga pernah menyabet penghargaan tingkat dunia International Young Creative Enterpreneur of The Year (IYCEY) kategori Screen tahun 2007 lalu. Tak tanggung-tanggung, dia lantas mendapat dana proyek 7.500 poundsterling. "Uangnya untuk mengirim 3 staf pengajar untuk belajar animasi ke Inggris," tutur pria 28 tahun ini.

Ke depan, Adit mengaku ingin mengajak investor lain untuk lebih mengembangkan Hello Motion baik ke fasilitasnya maupun kurikulum. "Saya ingin membagi resiko perusahaan. Karena menjalankan usaha sendiri ternyata berat sekali," kata Adit. Saat ini, Adit mengaku sudah ada yang berminat untuk investasi tapi lebih ke arah franchise. Namun, Adit masih enggan memberikan franchise kepada pihak lain. Karena masih banyak resiko, katanya, terutama dalam hal kualitas yang tidak merata.


sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/21/08555979/meraih.bisnis.dari.idealisme.seni

Prinsip-Prinsip Etika Bisnis

Prinsip-Prinsip Etika Bisnis

Etika bisnis sesungguhnya tak rumit. Pegangannya adalah jika peraturan atau etika sudah disahkan undang-undang atau peraturan tertulis, maka pelanggarannya berarti melanggar hokum. Jika etika berkaitan dengan norma masyarakat, maka tolak ukurnya adalah diri sendiri. Artinya kalau anda merasakan apa yang anda lakukan akan menyakiti orang lain, maka sebaiknya anda jangan melakukan hal tersebut.

Namun, dalam etika bisnis ada prinsip-prinsip yang dinilai Adiwarman Karim, Presiden Direktur Karim Business Consulting, seharusnya jangan dilanggar, yaitu :
  • Kejujuran Banyak orang beranggapan bisnis merupakan kegiatan tipu-menipu demi mendapat keuntungan. Ini jelas keliru. Sesungguhnya kejujuran merupakan salah satu kunci keberhasilan berbisnis. Bahkan, termasuk unsur penting untuk bertahan di tengah persaingan bisnis.
  • Keadilan - Perlakukan setiap orang sesuai haknya. Misalnya, berikan upah kepada karyawan sesuai standar serta jangan pelit memberi bonus saat perusahaan mendapatkan keuntungan lebih. Terapkan juga keadilan saat menentukan harga, misalnya dengan tidak mengambil untung yang merugikan konsumen.

  • Rendah Hati - Jangan lakukan bisnis dengan kesombongan. Misalnya, dalam mempromosikan produk dengan cara berlebihan, apalagi sampai menjatuhkan produk bersaing, entah melalui gambar maupun tulisan. Pada akhirnya, konsumen memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian atas kredibilitas sebuah poduk/jasa. Apalagi, tidak sedikit masyarakat yang percaya bahwa sesuatu yang terlihat atau terdengar terlalu sempurna, pada kenyataannya justru sering kali terbukti buruk.
  • Simpatik - Kelola emosi. Tampilkan wajah ramahdan simpatik. Bukan hanya di depan klien atau konsumen anda, tetapi juga di hadapan orang-orang yang mendukung bisnis anda, seperti karyawan, sekretaris dan lain-lain.
  • Kecerdasan - Diperlukan kecerdasan atau kepandaian untuk menjalankan strategi bisnis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga menghasilkan keuntungan yang memadai. Dengan kecerdasan pula seorang pebisnis mampu mewaspadai dan menghindari berbagai macam bentuk kejahatan non-etis yang mungkin dilancarkan oleh lawan-lawan bisnisnya.
  • Lakukan dengan cara yang baik, lebih baik atau dipandang baik Sebagai pebisnis, anda jangan mematok diri pada aturan-aturan yang berlaku. Perhatikan juga norma, budaya atau agama di tempat anda membuka bisnis. Suatu cara yang dianggap baik di suatu Negara atau daerah, belum tentu cocok dan sesuai untuk di terapkan di Negara atau daerah lain. Hal ini penting kalau ingin usaha berjalan tanpa ada gangguan.

Sumber :http://arsip1.dunia-perspektif.com/2008/05/prinsip-prinsip-etika-bisnis.html

pendapat saya : dengan adanya prinsip-prinsip bisnis yang dilakukan seorang pebisnis yaitu, rendah hati, keadilan, simpatik dan kejujuran menurut Adiwarman Karim, Presiden Direktur Karim Business Consulting menjadikan usaha yang tetap berjalan dengan baik dan agar tetap bertahan dalam kondisi banyak persaingan.

Kamis, 05 November 2009

Cara Menjadu Pengusaha

Cara Menjadi Pengusaha

ebelum kita mulai, mari kita satu hal yang lurus - ANDA DILAHIRKAN DENGAN IT. Passion, haus, berani mengambil risiko, inovasi, kecerdasan, dan begitu banyak variabel lain yang membentuk seorang pengusaha sukses, tidak dapat diajarkan.

Beberapa poin untuk memulai untuk menjadi seorang pengusaha

Perencanaan: Sebuah rencana bisnis adalah penting untuk siapa saja yang mencoba untuk memulai jenis bisnis apapun! Mereka tidak hanya untuk mendapatkan pembiayaan dan tidak boleh dimasukkan ke rak begitu mereka selesai. Ini adalah alat yang pemilik bisnis dapat digunakan untuk membantu membimbing mereka dalam arah yang tepat untuk bisnis mereka.

Disiplin: Seseorang yang ingin menjadi seorang pengusaha harus memastikan mereka memiliki disiplin diri dan etika kerja sebelum melanjutkan.

Work Harder: Siapa saja dapat menjadi seorang pengusaha, hanya bersiaplah untuk bekerja lebih keras daripada siapa pun.

Good Mentor: Mencari mentor yang baik akan menghemat darah, keringat dan air mata. Carilah seseorang yang Anda kagumi dan bertanya. Anda akan terkejut melihat betapa murah hati pengusaha besar dapat dengan waktu mereka!

Seminar dan Pertemuan: Seseorang yang ingin menjadi seorang pengusaha harus menghadiri banyak seminar dan konferensi yang relevan mungkin, untuk membentuk jaringan hubungan yang berharga.

Rencana Kurang, UU More: Hentikan perencanaan, mulai bertindak. Anda akan membuat kesalahan sepanjang jalan, tapi akhirnya Anda akan mengetahui solusi yang bekerja untuk Anda dan bisnis Anda.

Essence: Anda harus memiliki gairah untuk inti dari bisnis Anda ingin memulai dan Anda HARUS dapat pelampung melalui pasang surut terkait dengan memulai bisnis.

Mulai Part-Time: Jika Anda tidak dapat membuat uang paruh waktu, Anda tidak dapat membuat uang penuh-waktu, jadi jika Anda memiliki keluarga untuk mendukung-jangan keluar dari pekerjaan Anda untuk memulai usaha pertama Anda. Menjalankannya paruh waktu dan belajar semua yang dapat Anda tentang pemasaran dan menjalankan bisnis, dan membuat perubahan bila waktunya tepat.

Baca A Lot: Seseorang yang ingin menjadi seorang pengusaha harus membaca semua yang dia bisa tangannya di tentang menjadi seorang pengusaha: memulai dan menumbuhkan bisnis, kreativitas, bagaimana-tos keuangan, dan banyak lagi. Sementara pendidikan formal indah, banyak dari orang terkaya dunia telah self-made. Berpendidikan diri sering kali lebih baik daripada pendidikan formal.

Motivasi From The Inside: Untuk menjadi seorang pengusaha, melatih diri untuk menjadi disiplin dan intrinsik termotivasi. Bangun satu atau dua jam lebih awal untuk setiap hari untuk bekerja menuju suatu tujuan atau menyelesaikan pekerjaan terhadap proyek yang konstruktif untuk satu set-waktu setiap malam setelah makan malam, terutama bila Anda tidak mau. Tetapkan tujuan yang menantang, istirahat mereka ke tugas-tugas kecil, bertemu dengan mereka, dan hadiahi diri Anda sendiri diam-diam dengan sesuatu yang sederhana ketika tujuan besar terpenuhi. Jangan melihat ke pasangan Anda atau teman untuk menepuk Anda di belakang.

Give It 2 Tahun: Apapun bidang yang Anda minati, bekerja di bidang itu sekurang-kurangnya 2 tahun. Hal ini memungkinkan Anda untuk melihat siklus dari dalam.

Namun, keinginan yang kuat untuk memulai sebuah bisnis, dikombinasikan dengan ide yang baik, hati-hati perencanaan, dan kerja keras, dapat mengakibatkan yang sangat menarik dan menguntungkan usaha.

Sumber : http://www.id.articlesphere.com/Article/How-To-Become-An-Entrepreneur/1926

menurut saya : menjadi pengusaha harus mempunyai tekad yang kuat karena harus menerima apabila terjadi kegagalan. Dalam menjadi pengusaha pun harus menilai suatu etika dalam bisnis agar bisnis yang dijalankan berjalan dengan baik. oleh karena itu Untuk menjadi seorang pengusaha, melatih diri untuk menjadi disiplin dan intrinsik termotivasi. Bangun satu atau dua jam lebih awal untuk setiap hari untuk bekerja menuju suatu tujuan atau menyelesaikan pekerjaan terhadap proyek yang konstruktif untuk satu set-waktu setiap malam setelah makan malam, terutama bila Anda tidak mau. Tetapkan tujuan yang menantang, istirahat mereka ke tugas-tugas kecil, bertemu dengan mereka, dan hadiahi diri Anda sendiri diam-diam dengan sesuatu yang sederhana ketika tujuan besar terpenuhi.

etika dan nilai-nilai dalam bisnis

Penting untuk mengetahui etika dan nilai bisnis jika anda berada di dunia bisnis yang keras. Etika bisnis berikut akan meningkatkan bisnis anda di berbagai hal daripada yang anda bayangkan, dan menjadikannya bertahan lama dengan hasil yang memuaskan.

Dalam definisi yang paling sederhana, etika adalah sense benar atau salah. Apapun yang dianggap benar, baik adalah etis; sedangkan yang tidak dinamakan tidak etis. Tapi apakah demikian? Tidak. Saya akan menjabarkan definisi dasar dari etika ini. Menurut saya, etika adalah sense benar dan salah, yang diiringi dengan keinginan untuk melakukan kebaikan untuk orang lain.

Ini adalah prinsip dasar yang perlu diikuti ketika anda mencoba melakukan etika dan kebijakan bisnis. Ketika membuat langkah yang besar dalam meningkatkan bisnis, salah satu usaha yang harus dilihat apakah bisnis tersebut secara signifikan membawa manfaat bagi orang lain atau tidak.

Berikut adalah etika bisnis yang patut ditiru.

Prinsip Etika Bisnis #1 - Produktifitas Jauh Lebih Penting Daripada Keuntungan

Misalnya, saya memiliki dua jenis bahan baku yang dapat digunakan, salah satunya lebih mahal dari yang lain. Maka saya akan memilih yang lebih baik diantaranya, tanpa memperdulikan harga. Apa maksud dari hal ini? Saya membuat produksi yang lebih baik. Bagaimana dengan produknya kemudian? Bukankah mereka menurun?

Tidak juga! Ketika saya memproduksi dengan lebih baik, saya juga memastikan lebih banyak penjualan. Dan inilah alasan mengapa profit tidak selalu terpengaruh, dan meskipun terpengaruh, tidak dalam jumlah yang besar. Dan saya menghasilkan profit yang signifikan - yang dipercaya oleh konsumen. Kita semua mengetahui bagaimana bisnis yang kredibel selalu bertahan lama di pasar. Ini yang anda dapatkan jika anda menempatkan produktivitas diatas profit.

Prinsip Etika Bisnis #2 - Konsumen Bukan Domba yang Dapat Dipotong

Kebanyakan bisnis yang tidak etis mengenakan biaya yang terlalu tinggi terhadap produknya, dan menipu konsumennya. Bisnis yang demikian bisa saja menghasilkan keuntungan yang cepat dikarenakan iklan, namun pada saat terjadi nilai baru dalam bisnis, maka akan mengalami kehancuran. Poin yang lebih baik yang diperhatikan adalah, perusahaan yang menaikkan harganya dengan tidak wajar di permulaan tidak dapat menurunkannya kemudian. Sekalipun mereka melihat tidak adanya penjualan yang diharapkan, mereka tidak dapat memotong harga tanpa kehilangan kredibilitas. Harga yang wajar adalah hal terpenting dalam etika bisnis, dan harus diimplementasikan di permulaan.

Prisip Etika Bisnis #3 - Area Pembeli Lebih Penting daripada Area Penengah

Memang benar, penengah memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan bisnis, dan memperpanjang dalam memenuhi tuntutan distributor mereka. Bagaimanapun, distributor adalah orang penting yang membeli produk dari pabrik dan menghadirkannya didepan konsumen. Dalam dunia yang kian kompetitif, sangat penting untuk menarik distributor dan karena itu , kebanyakan bisnis membuat kebijakan dalam memelihara hubungan dengan distributor.

Semua ini adalah hal yang baik selama konsumen sebagai pusat segala sesuatunya. Konsumen adalah hal terpenting daripada penengah, dan semua usaha harus menyadari nilai etika bisnis yang mendahulukan konsumen daripada distributor. Jika konsumen tidak suka dengan produk, maka tidak ada penjualan. Dan jika tidak ada penjualan, tidak ada distributor yang membeli produk. Triknya terletak pada menyenangkan konsumen dengan memberikan produk yang mereka inginkan – tanpa mempermasalahkan sedikit kenaikan biaya manufaktur - dan menciptakan permintaan produk. Secara otomatis distributor akan mendatangi anda.

Prinsip Etika Bisnis #4 – Bersikap Diplomatis dengan Pesaing Anda

Harus ditekankan bahwa etika bisnis selalu mengemukakan persaingan yang sehat dipasar, dan monopoli adalah hal yang dipandang rendah. Bisnis anda memiliki beberapa pesaing, dan yang terbaik bagi anda adalah bersikap diplomatis dengan mereka. Secara etika, anda harus menghormati apa yang dilakukan pesaing anda. Jika anda tergoda untuk memulai perang dingin, ingatlah bahwa mereka memiliki usaha yang sama dengan anda. Jadi jelas, di beberapa hal mereka lebih unggul, atau justru kurang. Kenyataannya, dimata konsumen, anda berbagi dengan mereka karena anda menyediakan produk yang sama. Cukup etis dan menguntungkan bagi anda untuk mengikuti "ikatan persaudaraan" dengan kompetitor anda. Jika anda ingin menyingkirkan mereka, lakukan dengan elegan dan dengan meningkatkan bisnis anda. Melakukan sabotase bisnis kompetitor, dengan cara apapun tidak dapat diterima oleh etika bisnis,

sumber : http://www.pengusahamuslim.com/kewirausahaan/entrepreneurship/203-etika-dan-nilai-nilai-dalam-bisnis.html

Menurut saya benar bahwa suatu etika mempunyai nilai-nilai bisnis yang baik, agar tidak terjadi kecurangan dalam bisnis dan dapat juga memperlancar usahanya. etika dalam berbisnis pelu disebabkan dapt meningkatkan profitabilitas perusahaan.

Etika Bisnis dan Pendidikan

Etika Bisnis dan Pendidikan

Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap
menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.

Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi
penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis
yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan
swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam
pelaporan kinerja keuangan perusahaan.

Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar
dan jelas merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders),terutama pemegang saham dan masyarakat luas
lainnya.Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang di-suspend perdagangan sahamnya oleh
otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi
akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan
daya dukung ekosistem lingkungan.

Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidakpedulian pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi
yang semakin serius dan merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor
asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita? Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini
terjadi? Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika bisnis di bangku kuliah? Apa yang salah
dengan pendidikan kita, karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale force dalam menegakkan nilai-
nilai kebenaran dalam berbisnis?

Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah—kalaupun ada—dan di perguruan tinggi? Etika bisnis
merupakan mata kuliah yang diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan bisnis dan
manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam menumbuhkembangkan etika bisnis di dunia pendidikan.
Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program
manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian
tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan/program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu
harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha,
termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan.

Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan
tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua,
pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak
terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus
mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses
pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis—aspek afektif/ sikap dalam hal ini—
disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini
cenderung monoton.Pengajaran lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung.

Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus
yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang
cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya
suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi
pemakaian? Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat.
Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

Nilainilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak,
yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, misalnya, guru bisa
mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak
mengambil keuntungan setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan
anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman
bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.

Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat
mengajarkan etika bisnis di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak
atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan
lain dengan alasan yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran
etika bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada saat
kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.

Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua
siswa tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah kita sadari,
kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam
berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi
peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup
masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).

Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya
orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan dengan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada
anak sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis.
Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya
pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para
pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.

Sumber : http://www.duniaesai.com/manajemen/man10.html

Bisnis itu Etika

Bisnis Itu Etika

TAK bisa dipungkiri, pesatnya pertumbuhan bisnis dewasa ini melahirkan iklim persaingan yang kian ketat di antara satu sama lain. Berbagai trik dan strategi diterapkan oleh perusahaan agar dapat memikat hati konsumen. Tapi tampaknya, kini bukan zamannya lagi perusahan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan. Untuk itu, perlu di terapkan suatu etika dalam menjalakan roda perusahaan.

Etika berarti pandangan hidup atau pedoman bagaimana sebaiknya berperilaku. Jadi, etika bisnis adalah bagaimana pandangan hidup atau bagaimana sebaiknya berperilaku dalam dunia bisnis. Artinya, perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban kepada pemilik saja, tetapi juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan tesebut. Memang harus diakui, kepentingan utama pelaku bisnis adalah menghasilkan laba semaksimal mungkin. Fokus tersebut membuat banyak perusahaan berpikir jangka pendek, artinya berupaya dengan segala cara melakukan apa saja untuk meningkatkan keuntungan.

Adanya tekanan kompetisi yang sangat ketat, tuntutan para pemilik modal yang kian tinggi, serta meningkatnya kesadaran konsumen terhadap produk, plus budaya suap menyuap, sogok menyogok, yang masih juga berlangsung, membuat banyak pelaku bisnis sangat rawan terhadap godaan untuk melakukan pelanggaran. Tentu saja praktik ini tidak saja merugikan perusahaan lain yang bersifat jujur, melainkan juga masyarakat dan negara.

Banyak contoh nyata parktik praktik pelanggaran etika bisnis, baik yang sifatnya ringan maupun berat. Sebut saja, "dipaksa" oleh sales untuk membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan, memberikan discount setelah sebelumnya barang dinaikkan terlebih dahulu, mengalirkan limbah pabrik yang tidak diolah ke sungai, tidak adanya layanan purna jual dan sebagainya. Menyangkut bidang jasa misalnya, mengabaikan klaim atau keluhan yang diajukan nasabah, memberikan informasi tidak transparan terhadap jasa yang dijual, menyamarkan produk agar nasabah tidak cermat dalam memilih dan sebagainya. Adapun pelanggaran yang kelasnya kakap adalah menciptakan atau menambahkan ke dalam suatu produk yang sebenarnya justru dalam jangak panjang merusak dan membunuh kita. Contoh, pemakaian bahan pestisida yang bisa menyebabkan kanker pada manusia di dalam produk obat anti nyamuk, pemakaian formalin pada makanan agar awet, pengunaan perwarna tekstil untuk makanan anak anak dan masih banyak lagi.

Melihat contoh tersebut, terlihat jelas bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi keuntunguan sesaat tanpa peduli etika. Akibat yang di timbulkan sungguh mengerikan, berapa banyak dana masyarakat yang keluar hanya unuk berobat, berapa banyak waktu dan tenaga terbuang percuma hanya untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan berapa besar kerugian negara akibat penurunan kualitas sumber daya manusia akibat zat zat kimia. Jelas tanpa suatu etika, pelaku bisnis akan lepas tidak terkendali, mengupayakan segala cara, mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuannya. Untuk itulah diperlukan aturan dan sangsi yang tegas bagi para pelakunya.

Di sisi lain memang, kita tidak bisa mengharapkan bahwa pelaku pasar atau dunia bisnis akan dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, bebas dari kelicikan, kecurangan dan manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan aspek etika.

Etika bisnis bisa dimulai dari perusahaan itu sendiri. Pemimpin perusahaan, komisaris, manajemen puncak, perlu memulai langkah ini sehingga diharapkan akan menciptakan tricle down effet bagi karyawannya, bagi keluargaya dan lingkungan sekitar. Perusahaan yang telah memiliki standar etika baku lambat laun akan dikenal reputasinya, baik dari segi brand /citra produknya, kualitas pelayanan, kualitas orang orang yang bekerja pada perusahaan tersebut, dan output yang dihasilkan. Untuk membangun reputasi perusahaan, memang sangat diperlukan etika dan menjunjung tinggi nilainya. Efeknya, akan meningkatkan nilai tambah.


http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=138111

membangun dan mengembangkan etika bisnis dalam perusahaan

Kalimat pembuka yang disampaikan oleh Ronald E. Berenheim dari New York University (2001) tampaknya sangat relevan dengan topik kita saat ini. Karena semenjak terjadinya kasus Enron (2001) dan Worldcom (2002) perhatian perusahaan-perusahaan besar kelas dunia terhadap upaya melakukan revitalisasi penerapan etika bisnis dalam perusahaan makin berkembang. Hal ini terutama didesak oleh kepentingan para pemegang saham agar Direksi lebih mendasarkan pengelolaan perusahaan pada etika bisnis, karena pemegang saham tidak ingin kehancuran yang terjadi pada Enron dan Worldcom terulang pada perusahaan mereka. Demikian pula stakeholders (pemangku kepentingan) lainnya pun tidak ingin tertipu dan ditipu oleh pengelola perusahaan. Walaupun sebelumnya telah diperingatkan pula dengan kasus Baring dengan aktornya Nicholas Leeson (1995).



Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.

Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
  • • Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
  • • Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
  • • Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :
  1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
  2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
  3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :
  • Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
  • Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
  • Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?

Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
  • • Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
  • • Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
  • • Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
  • • Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
  • • Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
  • • Memperkuat sistem pengawasan
  • • Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
  • • Treat others as you would like them to treat you
  • • An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.

Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

Yogyakarta, 13 April 2006



DAFTAR PUSTAKA
1. Bennis Warren, Spreitzer Gretchen M, Cummings Thomas, The Future of Leadership, Jossey-Bass, San Fransisco (2001).
2. Berenheim Ronald, The Enron Ethics Breakdown, The Conference Board Inc., New York (2001).
3. Cavanagh, G.F. , American Business Values, 3rd Edition, Prentice Hall, New Jersey ( 1990).
4. Fusaro Peter C., and Miller Ross M., What Went Wrong at Enron, John Willey & Sons, New Jersey, 2002.
5. Von der Embse and Wagley R.A.., Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, SAM Advanced Management Journal (1994).
6. Zhang Peter G., Baring Bankruptcy and Financial Derivatives, World Scientific, Singapore (1995)

sumber : http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa/artikel_setyanto_p._santosa/membangun_dan_mengembangkan_etika_bisnis_dalam_perusahaan.html